ULAR KADA KANYANG KUDUK KADA MATI

ULAR KADA KANYANG KUDUK KADA MATI
Ular tidak kenyang, kodok tidak mati
Tafsiran bebas:
orang yang berkuasa (ular) boleh saja bertindak keras terhadap orang yang dikuasainya (kodok) dengan syarat tindakan keras itu jangan sampai membuat orang yang dikuasainya itu tewas.

Orang yang berkuasa dibolehkan bertindak keras (mengambil harta orang yang dikuasainya, dalam konteks ini memungut pajak) sebatas pada memakan kaki atau tangan (tidak merampas semua harta milik orang yang dikuasainya).
Contoh lain, penguasa boleh saja mengambil sedikit tanah pekarangan milik rakyat) tanpa ganti rugi, atau dengan ganti rugi yang besarannya sesuka hati penguasa) untuk keperluan memperlebar jalan raya misalnya.
Dalam kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat di Tanah Banjar, orang sering salah kaprah dalam memahami makna peribahasa Banjar ini, yakni menjadikannya sebagai konsep keadilan. Padahal konsep ini jauh dari rasa keadilan.
Tidak kenyang dalam konteks peribahasa Banjar di atas, bukan karena ular (penguasa) tidak memakan kodok (rakyat), tetapi karena yang dimakan ular cuma kaki kodok saja (bukan kodok seutuhnya, kada kuduk sa-ikungan).
Nah, menurut konsep peribahasa Banjar di atas, urang yang berkuasa (ular) diberi hak (dibenarkan saja) untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain yang berada di bawah kekuasaannya (kuduk), sepanjang tindakannya itu tidak sampai membuat kodok mati konyol.
Memang, kuduk tidak mati konyol, tapi kakinya jadi buntung karena harus dipersembahkan sebagai bahan baku pembuat kuliner (sop kaki kodok) untuk makanan penguasa yang zalim. Ironisnya untuk kezalimannya itu, ular (penguasa) tidak dapat dituntut hukuman apa-apa. Hukum baru bisa diterapkan jika kodok tewas akibat perbuatannya. Jika kodok yang buntung itu tetap hidup, maka ular bebas dari tuntutan hukum sosial atau hukum normatif, karena aturan mainnya memang demikian.

0 Response to "ULAR KADA KANYANG KUDUK KADA MATI"

Posting Komentar